Total Tayangan Halaman

Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Masjid sebagai Pusat Peradaban



Peradaban Islam selalu mencontohkan bahwa pendirian dan pemanfaatan masjid harus lebih dikembangkan dan lebih diperluas bagi kehidupan kaum Muslim. Sebab jika hanya dipakai sebagai tempat shalat, umat Islam dapat melakukannya di luar masjid, yakni di seluruh tempat di atas permukaan bumi. Hal ini seperti yang dikutip dari Jabir bin ’Abdullah, bahwasanya Nabi SAW pernah bersabda: “Aku dikarunia lima perkara yang belum pernah diberikan kepada seorangpun sebelum aku;
1.      Aku ditolong dengan kegentaran (musuh menghadapi aku) jarak sejauh sebulan perjalanan;
2.      Dan dijadikan bumi ini bagi ku sebagai masjid dan bahan pensuci, lalu di mana saja seseorang dari umatku mendapatkan waktu shalat, ia boleh melakukan shalat di situ;
3.      Dan dihalalkan bagiku rampasan perang, padahal tidak dihalalkan bagi seseorang sebelum aku;
4.      Juga aku diizinkan memberi syafa’ah (pada hari Kiamat);
5.      Dan adapun nabi-nabi (terdahulu) diutus hanya untuk kaumnya semata-mata, sedang aku diutus untuk manusia seluruhnya.” (HR Bukhary dan Muslim).

Muhammad SAW adalah manusia yang pertama kali meneladani dalam memperluas dan memperkaya fungsi masjid. Ketika hijrah dan mendirikan Negara Madinah, Rasulullah menjadikan Masjid Madinah (dikenal sebagai Masjid Nabawi) sebagai pusat kegiatan pemerintahan. Sebagai jantung kota Madinah saat itu, Masjid Nabawi digunakan untuk kegiatan politik, perencanaan kota, menentukan strategi militer dan untuk mengadakan perjanjian kerja sama –bahkan di area sekitarnya digunakan sebagai tempat tinggal sementara oleh orang-orang fakir miskin. Setelah Nabi wafat, Masjid Nabawi tetap dijadikan sebagai pusat kegiatan para khalifah, sebagaimana yang dilakukan oleh Al-Khulafa Al-Rasyidun sepanjang tahun 632-660.
Fungsi Masjid Nabawi sebagai pusat kegiatan para khalifah terus berlanjut. Bahkan pada saat itu, fungsi Masjid Nabi semakin diperluas sebagai pusat pertemuan para sahabat dan pemimpin Muslim lainnya. Karena menjadi pusat dakwah bagi kaum mualaf –dalam rangka menerima pelajaran dasar tentang Islam– akibatnya fungsi masjid sebagai pusat pendidikan Islam menjadi semakin mengkristal. Dari sanalah penguatan fungsi masjid sebagai sentra pelayanan pendidikan dan penyebaran keilmuan yang bernuansa Islam telah mulai tumbuh. Dan mulai dari fase itu, fungsi masjid sebagai sentral pengembangan peradaban Islam mulai berkembang.
Keberadaan masjid sebagai tempat ibadah umat Islam hendaknya menjadi pusat dari persemaian perdaban Islam yang sangat ideal karena menyangkut berbagai persoalan bisa dibicarakan di dalam masjid.
Di zaman Rasulullah, masjid memiliki peran sebagai majelis peradilan ketika seseorang melakukan perbuatan yang melanggar hukum agama, sebagai tempat pendidikan Islam sebagaimana sahabat yang banyak menyerap ilmu dari Nabi Muhammad saat di masjid.
Fungsi lainnya adalah, masjid sebagai tempat berakhlaq mulia dan berorientasi menyelesaikan masalah. Contohnya ketika ada orang Badui buang air kecil di masjid, Rasulullah melarang sahabat menghakimi orang itu karena orang Badui itu memang tidak tahu etika di masjid. Pada saat itulah nabi tampil sebagai penyelesai masalah dengan mengambil air untuk membersihkan lantai masjid yang terkena najis karena kotoran orang Badui tersebut.
Tapi realita saat ini belum menunjukkan fungsi masjid yang ideal sebagaimana di zaman Rasulullah itu. Padahal kalau diikuti, fungsi masjid di zaman Rasul itu sederhana tapi menunjukkan suatu peradaban yang tinggi.
Mengenai nilai-nilai dalam Islam, Islam memiliki sedikitnya dua peradaban agung yang di keyakinan lain mungkin tidak ditemui, yakni konsep "rahmatan lil `aalamiin" (memberi rahmat bagi seluruh alam) dan "ukhuwah Islamiah" (persaudaraan sesama Islam).
Konsep "rahmatan lil `aalamiin" itu adalah trade mark Islam. Itu adalah peradaban tinggi karena Islam melindungi seluruh isi alam ini. Ukhuwah Islamiah juga sebagai peradaban karena menunjukkan adanya ikatan dasar sesama muslim dalam ketundukan kepada Allah. Selain itu "ukhuwah Islamiah" juga menghilangkan permusuhan yang tidak perlu.
Memang ada permusuhan yang perlu, yakni terhadap syetan. Kalau sesama muslim nabi mencontohkan bagaimana beliau menyatukan orang-orang Ansor (penduduk Madinah) dengan kaum Muhajirin (orang-orang pendatang) peran masjid dalam upaya membangun peradaban Islam bisa dilihat dari konsep "rahmatan lill `aalamiin". Seharusnya konsep tersebut dibangun dan dimulai dari masjid.
Masjid bukan hanya untuk tempat salat, tapi juga untuk berdiskusi atau bahkan tempat umat Islam. Di sinilah peran masjid harus diperluas sebagaimana yang seharusnya menjadi peran masjid itu sendiri.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar